Jumat, 07 November 2014

novel cinta islami

2014 11 07
 
by fadil

Chapter 2

Ujian Akhir Nasional telah berakhir sudah lama. Kini menantikan saat-saat yang paling menegangkan yaitu menunggu detik-detik kelulusan. Semua anak kelas tiga sudah berkumpul sejak jam 9 pagi tadi. Kepala sekolah belum juga mengumumkan hasil kelulusan itu. Tampak mereka sedang kasak-kusuk di tengah aula yang teduh. Anak-anak tersebut menantikan waktu-waktu yang akan mengejutkan jantung agar tidak terlalu menegangkan. Mereka ribut sendiri dengan aktifitas masing-masing. Ada yang berwajah pucat pasi. Ada yang bersikap santai dan tenang tanpa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada yang sudah menangis duluan sebelum pengumuman kelulusan diumumkan karena takut tidak lulus. Ada yang berwajah ceria. Bermacam-macam variasinya dan sangat menarik untuk ditonton. Di tengah lautan manusia yang sedang sibuk sendiri itu, Sarah dan Ana sangat panik jika tak lulus. Sesekali Ana memegang kedua tangannya yang menggigil dan terasa dingin seperti hidup di kutub utara. Pucat pasi dan sayu kedua mata menemani. Sarah juga takut membayangkan dia tidak lulus karena selama ini banyak masalah yang menimpa dirinya dan keluarganya.
“Lama amat pak kepala sekolah mengumumkan hasil kelulusan. Pegal kakiku duduk di lantai aula ini,” ucap Ana yang langsung blak-blakan.
“Iya.. kita udah tunggu sejak jam sembilan pagi. Sekarang sudah jam dua belas siang. Capek aku jadinya,” sambung Sarah yang tidak sabar.
“Kalau sampai aku tidak lulus, aku akan bunuh diri.”
“Hush.. apa-apaan sih katamu itu, Ana? Jangan pesimis begitu dong… Kita semua pasti lulus.”
“Habis… aku ini merasa sangat bodoh.”
“Nggak kelihatan begitu kok, kamukan sudah berusaha untuk belajar selama ini. Kan, kamu bilang kemarin, kamu sukses menjawab semua soal ujian itu tanpa merasa kesulitan sedikitpun. Ingat nggak…”
“Oh… iya…,” Ana manggut-manggut.
“Kenapa bilang mau bunuh diri? Kalau kamu bilang seperti itu sama saja kamu berdoa yang bukan-bukan. Kata-kata itukan bisa menjadi doa.”
“Ya… karena kalau aku nggak lulus. Orang tuaku pasti marah. Akukan bisa jadi stres bila orang tuaku marah. Aku takut membayangkan itu.”
“Janganlah bersikap seperti itu, semangat dong..”
“Hm… Iya… sih… Baiklah.”
Ana tidak merasa linglung lagi. Tiba-tiba dia mau bilang bunuh diri jika dia tidak lulus SMA di tahun ini. Benar-benar putus asa dan prasangka buruk kepada keadaan. Lama sekali mereka mengobrol hingga Kepala Sekolah datang menghampiri aula yang dipenuhi lautan manusia tersebut. Kepala sekolah memberikan kata sambutan terlebih dahulu dan memberikan nasehat-nasehat yang baik untuk anak-anak kelas tiga itu. Kemudian pada ujung yang paling menegangkan, dari kata-kata Kepala Sekolah yang siap mengancam jantung untuk siap terkejut. Hasil pengumuman kelulusan akan diumumkan.
“Dari apa yang telah Bapak sampaikan kepada anak-anak sekalian. Semoga kalian menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Setelah Bapak mengumumkan hasil kelulusan ini, Bapak harapkan anak-anak sekalian dengan lapang dada menerima hasil keputusan tersebut. Hasil pengumuman kelulusan hari ini semuanya……..”
Kata-kata Kepala sekolah terputus mendadak dan Beliau memperhatikan wajah-wajah pucat dari para siswanya. Tanpa menunggu lama, Kepala Sekolah melanjutkan kata-katanya.
“Bapak mengumumkan semua anak kelas tiga yang Bapak sayangi ini… SEMUANYA LULUS SERATUS PERSEN!!!”
“Hore… kita lulus!” seru semuanya kompak kegirangan.
Mereka saling berpelukan dan jingkrak-jingkrak gembira. Sebagian sujud syukur. Ada yang berteriak senang. Ada yang menangis bahagia. Warna-warni ekspresi kegembiraan menambah semarak haru biru suasana kelulusan. Ana dan Sarah saling sujud syukur. Riski juga sujud syukur bersama Andi. Mereka sangat bahagia karena sudah lulus. Kehidupan baru akan mereka jelajahi demi masa depan yang cerah benderang.
“Oh ya… Sar.. kamu mau lanjutkan kemana sudah lulus ini?” tanya Ana sambil tertawa lepas.
“Ah… aku nggak tahu,” jawab Sarah dengan wajah yang berubah menjadi kusut.
“Lho.. Kenapa nggak tahu?”
“Kayaknya aku nggak bisa kuliah di tahun ini.”
“Kenapa?”
“Nggak ada biaya, makanya aku harus cari kerja dulu untuk mengumpulkan biaya kuliah sendiri.”
“Kasihan kamu Sar…” kedua mata Ana tampak berkaca-kaca.
“Ya… mau bagaimana lagi… Oh ya… kamu mau kuliah di mana An…?”
“Aku mau kuliah di padang. Nama universitasnya aku tak tahu. Pokoknya aku mau menjadi seorang dokter. Kan, orang tua aku tinggal di padang sekarang.”
“Kita berpisah dong…”
“Hm… Tapi, kita tidak boleh putus komunikasi. Kita selalu sms-an ya…”
“Oke..”
Sarah tertawa renyah bersama Ana. Di tengah-tengah manusia yang saling meluapkan kebahagiaan, Riski memandang Sarah dari kejauhan. Sementara Andi yang berada di sampingnya sedang berbicara dengan teman-teman lainnya. Riski merasa bahagia melihat senyuman bahagia dari sang pujaan hatinya. Hatinya mulai tergerak untuk segera menyatakan cinta yang telah lama ia pendam sejak kelas satu SMA. Riski ingin melaksanakan aksinya. Langkahnya mulai ia majukan. Tiba-tiba ia melihat wajah sedih dari Sarah yang tampak mendung dan kusam. Riski membatalkan niatnya untuk menyatakan cinta kepada Sarah karena suasananya saat ini tidak tepat. Tapi, perasaannya menggebu-gebu ingin segera keluar untuk menjemput perasaannya yang lain. Riski menjadi tak enak hati. Hingga Andi memanggilnya untuk berkumpul dengan teman-teman yang ingin segera pergi konvoi dengan sepeda motor masing-masing untuk merayakan kelulusan yang terasa besar ini.
“Ris… jadi nggak kita keliling kota Pekanbaru dengan motor nih…? Semuanya sudah menunggu,” seru Andi melambaikan tangannya di kejauhan bersama teman-temannya.
“Iya… Jadi, aku segera ke sana,” balas Riski dengan berteriak keras.
“Cepetan dong…”
“Iya…,”
Riski segera berlari-lari kecil. Sempat juga ia memandang sebentar ke arah Sarah yang mulai bergerak meninggalkan aula bersama Ana. Semua orang segera meninggalkan aula. Sebagian menyalami para guru yang sudah ikhlas memberikan ilmu-ilmunya untuk murid-murid tanpa mengenal lelah sedikitpun. Sebagian berhamburan ingin konvoi keliling kota Pekanbaru. Sebagian lagi langsung pulang karena tidak sabar untuk memberitahukan kabar baik ini kepada orang tuanya.
Riski menghampiri Andi. Andi langsung memeluk pundaknya dengan erat. Teman-teman segera melangkah cepat ke arah parkiran sepeda motor. Riski berwajah mendung. Andi yang selalu tersenyum seperti orang gila itu langsung merasakan perubahan wajah Riski yang mendadak menurun drastis itu.
“Kenapa, kamu Ris?” tanya Andi.
“Ah…” Riski mendongak seperti orang bodoh.”Nggak ada apa-apa.”
“Terus mengapa wajahmu nggak senang gitu?”
“Suer… nggak ada apa-apa..” Riski menggeleng-geleng.
“Masa???”
Andi berkerut. Dia tidak percaya Riski tidak mengalami yang macam-macam. Tapi, wajahnya masih suram. Seperti orang sedih begitu. Andi berpikir kenapa sobat kentalnya itu berwajah seperti itu. Setelah lama berpikir, tak terasa langkah kedua kaki sudah sampai di parkiran sepeda motor. Teman-teman sudah mulai menunggang sepeda motor masing-masing. Andi mendadak menghentikan langkah Riski yang hendak mengambil sepeda motornya.
“Tunggu dulu, Ris.. aku mau bicara sebentar.”
“Apaan?”
“Kalau kamu merasa gelisah, segera nyatakan cintamu kepada Sarah. Aku merasa kamu sedih karena itukan? Karena kamu belum juga menembak Sarah untuk mengungkapkan perasaanmu itu.”
“Ah…” Riski berkerut.
Teman-teman yang sudah menunggangi motornya masing-masing keheranan melihat Riski dan Andi kelihatan tegang. Salah satu dari mereka tidak sabar dan ingin segera cepat berangkat.
“Woi… Bro.. Kok malah ngomong terus dari tadi? Kapan kita berangkatnya. Apalagi nih sudah jam satu lewat. Yang lainnya sudah duluan daripada kita. Bagaimana nih?”
“Sssst… kayaknya Riski lagi ada masalah dalam menembak cewek. Si Andi berusaha menyemangati dia agar segera menyatakan cintanya kepada cewek yang ia sukai,” jawab dari seorang lagi.
“Wah.. nggak apa-apa.. biar kita tunggu saja.”
Andi dan Riski saling bicara terus. Hingga Andi memegang bahu Riski dengan wajah yang tegas dan bijaksana. Biasanya dia berwajah polos dan agak bodoh dalam menanggapi suatu perkataan. Kini tiba-tibanya ia menjadi dewasa begitu.
“Ayo… cepatlah.. Nyatakanlah cintamu kepada Sarah. Kami akan menunggumu sampai kamu membawa Sarah agar ikut bersama kita keliling kota Pekanbaru.”
Riski menganga karena mendengar kata-kata teman tulalitnya ini sudah mulai menyambungkan tiap perkataan yang terlontar dari mulutnya. Tumben si Andi ngomongnya mantap, seru Riski di dalam hatinya.
“Baiklah, aku akan pergi mencari Sarah,” Riski mengangguk pasti.
Teman-teman yang mendengarkan ikut campur juga untuk mendorong Riski.
“Ayo… Ris.. cepat kejar cewekmu itu sebelum dia pulang ke rumahnya.”
“Ini saat yang tepat untuk mengungkapkan cintamu.”
“Iya..”
“Betul… Betul… Betul…”
“Kayak Upin dan Ipin dong… Betul… Betul… Betulnya.”
“Nggak nyambung.”
Begitulah seruan mereka yang membuat Andi dan Riski menoleh ke arah mereka dengan tertawa terkekeh-kekeh. Mereka pun juga ikut tertawa. Riski pun mengacungkan jempolnya untuk mereka.
“Oke… Bro..”
“Lets go..” seru mereka kompak.
Riski tersenyum. Dia segera berlari-lari cepat menyusuri sekolah yang mulai sepi. Ia mencari Sarah secepat mungkin sebelum ia benar-benar sudah pulang bersama Ana. Dia terus mencari di berbagai sudut sekolah tapi Sarah tidak kelihatan. Apakah Sarah sudah pulang? Sudah berkali-kali Riski mencari dan bertanya kepada teman-teman yang tahu tentang keberadaan Sarah saat ini.
“Nggak tahu, nggak kelihatan. Mungkin sudah pulang sama Ana.”
“Tadi, barusan aku nampak dia lagi jajan di koperasi di depan sekolah sama Ana. Lihat aja di sana.”
Informasi terakhir itulah yang didapatkan oleh Riski. Dia sudah ngos-ngosan mengejar bayangan Sarah yang menghilang mendadak. Ia melangkahkan kakinya menuju koperasi yang berada di luar sekolah. Koperasi mulai sepi. Masih juga ada beberapa cewek-cewek yang berdiri sambil berceloteh di depan koperasi itu. Tapi, sosok Sarah tidak tampak. Angan-angan kosong tidak dapat diraih. Riski mulai putus asa. Sepertinya Sarah sudah pulang bersama Ana. Riski ingin mengejar Sarah sampai ke rumahnya. Dia juga tidak tahu di mana Sarah tinggal selama tiga tahun ini. Dia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan Sarah. Untuk mendekatinya pun tidak berani ia lakukan.
Riski kehilangan jejak Sarah. Koperasi pun ia tinggalkan dengan tangan kosong dan hati yang kecewa. Ia pun menuju ke tempat parkiran di mana semua temannya menunggu dengan sabar. Riski berjalan dengan gontai dengan wajah yang tertunduk lesu. Harapan untuk menembak Sarah hari ini gagal total. Seperti tidak ada hari yang lain. Riski sangat kecewa.
Setiba di parkiran, Andi yang menunggu keheranan melihat Riski berjalan dengan lesu seorang diri tanpa ada sosok Sarah yang berjalan di samping Riski. Teman-teman yang lain pun juga keheranan dan menganga dengan mulut yang selebar-lebarnya. Riski mendekati mereka. Lalu Andi memegang bahu Riski dengan wajah iba.
“Kenapa wajahmu lesu begitu, Ris? Apakah Sarah menolakmu?”
Riski masih diam. Wajahnya mendongak ke atas langit biru yang penuh awan-awan putih yang berjalan berdampingan. Napasnya sangat berat. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam.
“Sarah tidak menolakku. Tapi, Kayaknya Sarah sudah pulang bersama Ana. Aku terlambat menemui dia dan mengungkapkan perasaanku kepadanya.”
Andi tersenyum penuh arti. Teman-teman yang menunggangi sepeda motor masing-masing itu merasakan suasana yang sangat hambar. Riski tidak jadi mengungkapkan perasaannya kepada Sarah.
“Tenang saja, kan masih ada hari esok. Kitakan besok mengambil ijazah. Kamu masih bisa menyatakan perasaanmu itu kepada Sarah. Betulkan teman-teman?”
“Betul… Betul… Betul…,” sorak semuanya.
Mereka tertawa dengan terkekeh-kekeh. Karena mereka mencoba menghibur Riski yang sedikit gundah gulana akhirnya membuat Riski ikut tertawa juga. Pada akhirnya Riski mencoba menghibur hatinya sendiri. Hingga ia memutuskan untuk berangkat konvoi keliling kota Pekanbaru bersama teman-temannya. Karena keadaan Riski yang belum stabil. Andi yang menunggangi sepeda motor milik Riski. Mereka bersiap menginjak pedal gas motornya masing-masing.
“Go… Go keliling Pekanbaru!!!”
Bruuuumm…!!!
Semua sepeda motor langsung melaju. Meninggalkan sekolah yang mulai sepi. Perasaan yang belum terungkapkan makin terasa mendalam di hati. Apakah perasaan itu akan bersatu? Entahlah yang pasti masih ada esok harinya. Perasaan itu ingin keluar menjemput perasaannya yang lain. Allahlah yang tahu akan masa depan yang sebenarnya untuk memastikan kejadian yang akan berlangsung. Riski belum menyatakan perasaannya kepada Sarah. Sarah belum mengetahuinya. Betapa Riski sangat mencintainya. Perasaan itu pasti akan sampai kepada Sarah. Sarah akan mengetahuinya. Pasti akan mengetahuinya.

Chapter 1

Di sebuah kelas yang sunyi dan hening ketika pagi hari menunjukkan keceriaannya bersama burung-burung yang bernyanyi dan sang surya yang selalu tersenyum menyambut dunia yang bercahaya. Langkah kaki terhenti akan hendak meletakkan tas selempang ke atas meja. Seorang cewek manis yang mengenakan jilbab putih melongok sebentar ke arah pandangannya ke depan. Padahal tangannya akan bergerak meletakkan tas selempangnya ke atas meja namun niat itu batal karena ia menyadari pandangan seorang cowok yang berkacamata sedang duduk menatap ke arahnya. Si cewek spontan memerah mukanya karena cowok itu selalu menatapnya dengan tatapan yang lembut. Setiap kali cewek itu datang pagi-pagi sekali pasti cowok itu yang pertama kali ada di dalam kelas yang sunyi ini. Entah apa arti tatapannya? Yang jelas cewek itu tak pernah berbicara lebih dekat dengan cowok yang terkenal sangat alim di kelasnya.
Cewek itu bernama lengkap Sarah Hanifah. Ia cewek yang pendiam, pintar, alim dan baik hati. Ia termasuk cewek yang sangat takut kalau berhadapan dengan cowok. Lalu ia tidak terlalu suka bergaul sehingga teman-temannya menganggap dia tidak terlalu menarik. Cewek yang biasa-biasa saja. Dia anak seorang Ustad dan hidup dalam keluarga yang dididik dengan ajaran agama Islam yang kuat. Karena itulah Sarah sangat berhati-hati bila berhadapan dengan seorang cowok.
Lalu cowok yang menatapnya itu bernama Riski Ar Rasyid. Cowok yang pintar, suka memakai kacamata, supel, alim, ramah dan baik hati. Kulitnya putih bersih. Di balik kacamatanya itu terdapat kedua mata yang sayu sehingga siapa saja yang menatapnya akan merasa terpesona akan keindahan kedua matanya. Ia seorang cowok yang gampang tersenyum karena itu di mana-mana ia mempunyai banyak teman dari kelas satu, kelas dua bahkan kelas tiga. Ia selalu menatap ke arah Sarah sehingga Sarah merasa aneh dengan tatapannya itu.
Sarah merasa salah tingkah bila Riski menatapnya.  Ia selalu berusaha menguasai dirinya bila merasakan salah tingkah itu. Cepat-cepat ia meletakkan tas selempangnya ke atas meja. Ia buru-buru ingin keluar. Sebelum keluar, ia penasaran ingin melihat apakah Riski masih memandangnya atau tidak. Ia memalingkan wajahnya ke samping. Riski masih saja memandangnya dengan aneh dan tiba-tiba Riski melemparkan senyum manisnya. Sarah semakin memerah mukanya. Jantungnya berdebar dengan keras. Rasanya tubuhnya bergoncang. Sarah membalas senyuman Riski. Ia segera kabur ke luar kelas untuk melenyapkan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.
“Astagfirullah… Astagfirullah… Astagfirullah! Kata Abi, tidak baik seorang cewek muslimah menatap seorang cowok dengan lama nanti bakal terjadi zina mata. Ya Allah, maafkan hambamu ini. Astagfirullah al’azhim,” seru Sarah mengucap istighfar berkali-kali sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya saat di luar kelas.
Ia terus berjalan dan berjalan di koridor sekolah hingga menabrak seseorang. Gedubrak!!! Mereka berdua jatuh bersamaan.
“Aduh..” mereka berteriak bersamaan.
Sarah mengeluh kesakitan. Lalu ia menatap orang yang ia tabrak untuk meminta maaf.
“Maaf..”
“Aduh… Sarah, kalau jalan itu harus hati-hati dong!”
Sarah tersenyum cengengesan. Rupanya yang ia tabrak itu adalah teman sebangkunya sekaligus teman dekatnya yang bernama Ana Awwaliyah. Ana mengeluh kesakitan sambil terus berkoar-koar. Ia cewek yang berambut panjang, cerewet dan galak.
“Maaf Ana.. Sekali lagi aku minta maaf ya.. aku nggak tahu ada kamu di depan aku. Habisnya aku menutup mata sih…”
Mereka saling berdiri. Ana mengelus-elus pantatnya yang sakit. Sarah membersihkan sisa-sisa debu yang menempel di belakang rok abu-abu panjangnya.
“Iya.. aku maafin.. Ngapain sih kamu jalan sambil nutup mata segala? Memangnya ada apa? Kamu ketakutan lihat hantu ya..”
“Hantu apaan? Aku sangat berdebar-debar karena Riski menatap aku dengan aneh lagi.”
“Ha…,” Ana menganga seperti ikan kehabisan napas.”Oh rupanya, cowok alim itu masih saja memandang kamu ya.. itulah sudah kubilang kalau Riski memandangmu dengan aneh seperti itu tandanya ia naksir sama kamu. Kamu toh tak percaya orangnya.”
“Aku nggak yakin. Akukan tidak boleh pacaran sama Abi aku. Walaupun aku memang suka sama Riski. Biar saja ini berlalu.”
“Kok bilang berlalu. Bodoh kamu Sar.. Riski itu cowok alim. Kamu mesti mendapatkan cowok yang seperti itu. Kalau kamu tidak menyatakan cintamu kepadanya dengan cepat nanti Riski bakalan disambar orang lain lho.. nanti kamu menyesal lagi terus patah hati.”
“Masak cewek yang menembak duluan. Ogah ah.. harusnya cowok yang duluan yang menembak.”
“Tidak ada zamannya malu-malu lagi. Cewek harus menyatakan cinta duluan. Kalau kamu mau.. aku temani kamu menemui Riski. Terus tembak dia,” kata Ana tiba-tiba bergerak cepat meraih tangan kanan Sarah.
Sarah kaget setengah mati. Ia terseret oleh tarikan Ana.
“Ana.. apa-apaan sih..”
“Pokoknya ikut aja. Supaya kamu nggak terlalu menutupi dirimu seperti itu.”
“Tapi, aku belum pernah berbicara dengan Riski sejak kelas satu SMA dulu.”
“Apa alasannya?”
“Entah…,” Sarah berdelik sambil tersenyum simpul.
Ana terus berjalan menarik Sarah. Orang-orang yang berdatangan melihat tingkah mereka berdua. Sarah merasa malu sekali akibat ulah temannya yang satu ini. Mereka menjadi pusat perhatian. Orang-orang melongo dan tanda tanya hinggap di kepala mereka. Entah apa yang terjadi kepada dua cewek ini. Sepertinya terburu-buru sekali.
“Ana.. tunggu…., aku….!”
Belum sempat Sarah melanjutkan perkataannya. Hatinya berdebar-debar ketika sudah sampai di kelasnya sendiri. Mereka masuk kelas. Ana langsung menarik kata-kata menantang sambil tersenyum lebar.
“Riski.. Sarah mau ngomong sama kamu…..???!!!”
Kelas kosong melompong. Riski tidak ada di dalam kelas. Mereka melongo sejadi-jadinya. Ana merasa linglung seperti orang bodoh. Sarah menghelakan napas karena merasa sudah aman. Tangannya sudah lepas dari pegangan tangan Ana. Ana berdiri sambil menunjuk ke arah bangku Riski.
“Riskinya mana?”
“Mana aku tahu,” Sarah mengangkat kedua bahunya.
“Yeh, nggak jadi deh.. aku meletakkan tas dulu ya… Temani aku ke kantin ya Sar..”
Ana membatalkan niatnya untuk membantu Sarah menyatakan cinta kepada Riski. Ia meletakkan tasnya ke atas meja. Lalu mereka segera beranjak ke kantin. Sarah merasa terselamatkan dari niat mak comblang dari Ana. Kenapa Ana tak jadi membantu Sarah menembak Riski? Ana berubah pikiran dalam sedetik. Susah menebak pikiran cewek yang cerewet itu. Untung saja tak jadi. Kalau tidak Sarah bakal malu setengah mati karena menembak seorang cowok atas dorongan ide gila dari Ana. Padahal Sarah tidak mau pacaran. Ia ingin sendirian dulu untuk terus belajar dengan baik dan mengejar cita-cita impiannya. Itulah harapan yang tertanam dalam hatinya. Siapapun tidak akan bisa mencegahnya lagi.
———————————————————————
Di dalam kelas yang ribut, Ibu Eni guru matematika sedang keluar sebentar untuk mengambil sesuatu di kantor guru. Seisi kelas XII IPS 3 ribut seperti keadaan di pasar. Suara-suara memecah langit dan menembus telinga yang sudah terbiasa dengan suasana pecah belah itu. Sebagian cewek-cewek di barisan pertama asyik menggosip sesuatu. Sebagian cewek-cewek di barisan kedua tenang-tenang saja dan asyik mengerjakan tugas matematika dari Ibu Eni. Sarah dan Ana termasuk dalam sebagian cewek-cewek di barisan kedua. Cewek-cewek di barisan kedua termasuk kelompok cewek-cewek rajin dan pintar. Sementara cewek-cewek yang duduk di barisan ketiga sedang asyik bermain handphone. Ada yang asyik sms-an. Ada yang asyik mengambil foto dirinya dengan cowoknya. Ada yang asyik menelepon pacarnya. Pokoknya cewek-cewek di barisan ketiga kategori cewek-cewek gadget dan termasuk cewek-cewek anak orang kaya yang paling gaul.
Lalu terakhir cewek-cewek di barisan keempat termasuk cewek-cewek bandel dan suka meribut bersama cowok-cowok di kelas yang tukang ribut. Kalau Riski termasuk dalam barisan keempat dekat cewek-cewek bandel itu. Tapi, dia cowok yang pendiam, rajin dan tenang di kelas. Sebagian cowok-cowok lainnya berlarian kesana kemari. Ada yang saling kejar-kejaran. Ada yang asyik melucu. Ada-ada saja pemandangannya. Siapa saja yang memandangnya pasti akan marah karena saking ributnya. Pernah juga seisi kelas XII IPS 3 ini dihukum disuruh hormat kepada bendera sampai istirahat tiba. Dijemur di bawah matahari yang membakar kulit hingga gosong. Karena satu yang berulah maka semuanya kena imbasnya. Kelas XII IPS 3 bermacam-macam perangai manusia di dalamnya menghiasi kekompakan antarkelas ini. Walaupun begitu anak-anak kelas XII IPS 3 ini terkenal sangat prestasinya di bidang ekskul sekolah. Wali kelasnya saja bangga akan prestasi murid-muridnya ini walaupun sering menjengkelkan hati.
Namanya anak remaja sedang menikmati masa-masa terindah saat sekolah di SMAN 7 Pekanbaru ini. Mereka belum labil untuk menjalani kehidupan yang sangat berbeda dalam jangkauan pikiran mereka. Mereka hanya bisa berhura-hura. Menghabiskan uang dari orang tua untuk kepentingan dirinya dan juga sekolahnya. Anak remaja yang dalam proses mencari jati diri. Masih ingusan dan membutuhkan pembelajaran yang lebih dan matang dalam ilmu agama dan juga ilmu umum lainnya dari kedua orang tuanya dan juga dari pihak sekolah. Wajarkan namanya anak remaja itu tahunya sekolah, berpacaran, kumpul bersama teman-temannya, bersenang-senang dan pokoknya apa saja. Bila dididik dengan ajaran yang baik, maka anak remaja itu bakal terarah dengan jalan yang baik pula dan menjadi anak remaja yang berakhlak mulia.
Beralih ke arah Sarah dan Ana. Tampaknya mereka sudah selesai mengerjakan tugas matematika itu. Waktunya untuk bersantai. Ibu Eni belum  muncul-muncul juga. Sarah menghelakan napas beratnya untuk melepas ketegangan sehabis menulis tugas matematika tadi. Ana sedang membaca buku. Lalu Sarah bertopang dagu dan melihat-lihat keadaan kelas yang kacau balau habis disapu ombak kebisingan. Muncul si cewek cantik berambut kuncir bernama Rina datang menghampiri meja kedua cewek rajin itu. Rina tersenyum sambil menyapa mereka berdua.
“Non.. sudah selesai tugasnya ya.. pinjam dong.. aku mau lihat,” tanya Rina seperti biasa ingin mencontek pekerjaannya si Sarah yang jago matematika itu.
“Alah.. mencontek terus kamu Rin.. Kapan pintarnya kamu?” sergah Ana langsung blak-blakan.
“Jangan gitu dong.. kitakan teman. Seharusnya kita saling membantu,” kata Rina dengan nada merayu agar mereka mau memberikan buku latihan mereka.
“Alah.. lagak kamu sih, merayu kami agar kami mau membantu kamu mencontek lagi. Kapan seriusnya kamu belajar dan percaya diri dengan kemampuan kamu sendiri.”
“Ana.. sudah.. jangan cerewet gitu, nggak ada salahnya kita pinjam sebentar daripada kamu berceloteh nggak karuan gitu,” bisik Sarah sambil menyerahkan buku latihan miliknya sendiri kepada Rina.”Ini.. Rina, buku latihannya! Jangan dengarkan perkataan Ana. Kamu tahu sendirikan, kalau dia itu cerewet.”
“Thanks.. temanku sayang. Kamu baik sekali… Sarah,” sahut Rina menerima buku itu dengan tersenyum manis.
“Uh.. enak aja kamu bilang aku cerewet, Sar!” Ana melipat tangan sambil mengembangkan kedua pipinya ketika Rina sudah kembali ke bangkunya di barisan ketiga.
“Jangan marah dong An.. Daripada si Rina itu tersinggung. Nanti gengnya itu bakal melabrak kamu gara-gara kamu terlalu blak-blakan sama Rina. Diamin aja daripada kita nanti kena masalah sama gengnya Rina.”
“Dasar cewek sok cantik itu. Kerjaannya contek melulu. Kamu sih.. Sar.. terlalu baik sama orang. Jadinya, mereka terbiasa meminta tolong kamu mengerjakan tugas mereka dan memberikan contekan untuk mereka.”
“Nggak apa-apalah. Yang penting aku suka membantu mereka.”
“Ah.. pusing aku melihat sikapmu itu. Ya sudahlah, terserah kamu saja.”
“He… he… he…,” Sarah tertawa cengengesan.
Suasana kelas semakin bertambah ribut. Seperti akan dilanda perang saja. Telinga ikut berdentang seakan tidak dapat membedakan mana suara-suara yang lembut, keras dan berisik. Cowok-cowok bandel sedang bernyanyi melantunkan lagu hijau daun yang berjudul “Aku dan Air Mataku”. Suara-suara bercampur aduk. Ada yang fals, ada yang suaranya meloyo dan tidak beraturan. Paduan suara yang berantakan ditambah dengan suara pekikan dari cewek-cewek yang ikut bergabung dengan cowok-cowok itu. Suara-suara menjadi hancur dan meloyo dari sudut pandang iramanya. Sebagian murid-murid yang rajin dan baik selalu duduk manis di bangku masing-masing tertawa ria melihat tingkah mereka yang tidak malu bernyanyi walaupun suaranya hancur sekalipun. Asyik-asyiknya bernyanyi sambil menari sekalian di depan kelas. Benar-benar sudah stres atau apalah. Mereka berlagak seperti artis yang menyanyi di atas panggung. Tergelak-gelak tanpa arah. Sarah dan Ana juga ikut tertawa melihat tingkah mereka yang menambah kebisingan kelas XII IPS 3 ini. Tanpa sadar Sarah menangkap sepasang mata yang menatapnya dari samping. Di tengah riuh ria begini, Riski kembali tertangkap basah sedang memandang Sarah tanpa berkedip sambil melemparkan senyum manisnya. Sarah tertegun, heran dan memandang Riski juga dengan penuh pertanyaan yang melekat dalam pikirannya. Apa arti tatapannya itu? Ana selalu berkata, itu berarti tandanya Riski suka kepadamu karena dia ingin memberikan sinyal cintanya kepadamu dengan cara memandangmu tanpa berkedip untuk memberitahu kamu bahwa dia menyukaimu. Begitulah menurut Ana. Jika memang Riski menyukai Sarah, kenapa Riski tidak juga memberikan kepastian kepada Sarah atau menyatakan perasaannya kepada Sarah sejak dulu? Riski selalu memandang Sarah dengan aneh sejak kelas satu SMA. Dia selalu memandang Sarah saat masuk kelas, saat pelajaran berlangsung, saat istirahat di kantin dan di mana saja dan kapan saja. Dia selalu memandang Sarah tanpa mendekati dan tanpa bicara sedikitpun sejak kelas satu SMA. Selalu sekelas dan selama itu mereka belum pernah sekalipun bicara. Tanpa mengenal sedikitpun. Hanya tahu nama dan status sebagai teman sekelas saja. Selebihnya hanya diam dan hanya bisa memandang tanpa alasan yang jelas.
Selama tiga tahun terakhir ini, Sarah berusaha mencari tahu alasan Riski memandangnya. Ana juga ikut membantunya untuk menguak kebenaran pandangan Riski yang begitu teduh. Mereka menjadi detektif mendadak. Mulai mencari informasi melalui teman dekatnya dari nomor hpnya, mengenai diri Riski yang tertutup maklum Riski dikenal sebagai cowok yang pendiam, dan apa saja. Yang paling aktif mencari informasi itu adalah Ana. Kalau Sarah yang bertindak mencari informasi pasti dia malu untuk bertanya-tanya kepada teman-teman dekat Riski. Untung saja Ana mau membantu. Sarah hanya menunggu informasi langsung yang akan disampaikan oleh Ana.
Sarah masih memandang Riski dengan lama. Begitu juga dengan Riski. Seakan-akan ada magnet yang menarik perhatian Sarah untuk tidak menoleh ke arah lain selain memandang terus ke arah Riski. Riski terus tersenyum hingga teman sebangkunya memergokinya. Riski kelihatan gugup ketika Andi, teman sebangkunya memukul pundaknya karena sedari tadi dipanggil-panggil tidak menoleh juga. Dengan wajah sedikit memerah, Riski berusaha menguasai dirinya.
“Woi.. Bro.. dari tadi aku panggil-panggil kamu, nggak noleh-noleh juga. Asyik terus menatap sang pujaan hati,” kata Andi dengan tersenyum nakalnya menggoda Riski.
“Hush.. apa-apaan katamu itu Di… diam saja, kenapa? Nanti orang tahu. Malu aku kalau ketahuan kalau aku menyukai temanku satu kelas ini,” bisik Riski menempelkan telunjuknya ke bibirnya.
“Emangnya kenapa?”
“Kalau ketahuan, nanti teman-teman sekelas sini nanti bakal ribut. Kamu sendiri tahukan cewek-cewek sini bermulut ember semua?”
“Ember? Aku nggak lihat mulut cewek-cewek kelas ini kayak ember. Cantik-cantik malahan..”
“Ya ampun, kamu ini tulalit atau nggak ngerti bahasa kiasan. Maksudnya cewek-cewek kelas ini suka menggosip dan kalau ketahuan aku suka sama si Sarah nanti mereka bakal ribut soal itu. Nanti Sarah bakal malu dan selalu diremehkan oleh mereka. Terus nanti beritanya menular kemana-mana. Aku dan Sarah jadi bahan gosip, hinaan dan remehan. Karena itulah aku takut kalau menembak Sarah apalagi Sarah itu tipe cewek yang taat beribadah, Ayahnya Ustad dan mana boleh dia pacaran. Aku pun tak pernah sekalipun berbicara sama dia. Mendekatinya pun aku takut nanti teman-teman sekelas di sini malah memikirkan yang bukan-bukan. Ngeri rasanya seperti itu.”
“Oh.. gitu.. tapi, kalau kamu nggak menyatakan cintamu kepada Sarah. Nanti Sarah bakal disambar oleh orang lain lho.. Kamu tenang-tenang aja. Siapa sih yang nggak suka dengan cewek alim seperti Sarah itu,” sahut Andi manggut-manggut.
“Biarkan saja dulu. Sarahkan tipe cewek yang tidak dibolehkan pacaran sama Ayahnya. Aku akan menunggunya sampai selesai ujian terakhir sekolah. Kalau sudah lulus barulah aku menembak Sarah.”
“Lagakmu… lama amat kamu membiarkan Sarah bebas. Kamu yakin pasti mendapatkan hati Sarah.”
“Yakinlah… karena itu aku sekarang konsentrasi untuk belajar menghadapi ujian UAN. Kalau aku memikirkan masalah cinta nanti aku nggak konsentrasi belajar pula malah aku yang nggak lulus.”
“Terus, kenapa kamu memandang dia?”
“Habis, dia itu menarik.”
“Ah.. katanya mau konsentrasi belajar malah memperhatikan cewek pujaannya.”
“Biar tambah semangat.”
“Full spirit dong..”
“Ya.. gitulah.”
Mereka terlibat pembicaraan yang nakal dan hangat. Meskipun dari nada-nada pikiran dari Riski sepertinya dia masih meragukan perasaannya terhadap Sarah. Ia masih ingusan dan bersifat labil. Belum menemukan arti kedewasaan yang sebenarnya. Entah dari lulus SMA nanti dia menemukan arti cinta yang sebenarnya. Untuk sekarang biarlah dia bersenang-senang karena merasa jatuh cinta. Begitu dengan Sarah. Dia sangat menyukai Riski. Dia sudah jatuh cinta kepada Riski sejak pertama kali Riski memandangnya dengan aneh. Benar-benar perasaan jatuh cinta yang menyenangkan. Sarah telah menarik pandangannya dari Riski. Sementara ia asyik bicara dengan Ana. Lalu Ibu Eni masuk ke kelas dan mendadak semuanya berlari-lari terbirit-birit menuju bangku masing-masing. Ibu Eni kelihatan merah padam karena menahan amarah mendengar kelas ini ribut sampai ke kantor guru. Tak lama kemudian hawa panas gunung berapi segera meledak untuk mengeluarkan lava kemarahannya.
“Kalian anak kelas XII IPS 3, baru saja ditinggal sebentar sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ributnya bukan main. Saya sangat sudah kehilangan kesabaran saya. Kalian semuanya pergi ke luar sekarang juga. Hormat kepada bendera sampai bel istirahat berbunyi. Saya tidak peduli meskipun sebagian dari kalian yang tidak ikut meribut. Satu yang berulah, semuanya harus merasakan akibatnya. Ayo, keluar sekarang juga dan serahkan tugas matematika kalian untuk dikumpulkan di atas meja saya ini.”
“Ya.. Bu Eni, saya belum selesai mengerjakannya,” kata seorang cowok mengacungkan telunjuknya ke atas.
“Saya tidak peduli itu. Tidak ada yang boleh membantah. Ayo, kumpulkan tugas dan keluar kelas menuju lapangan untuk menjalani hukuman hormat kepada bendera sampai bel istirahat berbunyi.”
“Ya..” seru seisi kelas dengan nada pasrah.
Semua kelas mengumpulkan buku-buku tugas matematika masing-masing. Lalu di antara mereka ada yang menyalahkan antara satu dengan yang lainnya.
“Gara-gara Toni tuh, kena kita semua lagi.”
“Lagi-lagi hormat kepada bendera. Aduh, bisa hitam nih kulit putihku ini.”
“Ngapain kalian ikut aku tadi menyanyi?”
“Pokoknya gara-gara kamu, Ton..”
“Ember… salah sendiri.”
Begitulah kejadiannya. Ibu Eni memimpin dan mengawasi mereka agar benar-benar menjalani hukuman yang ia berikan. Alamak, ini karena satu orang yang berulah maka semuanya kena. Anak-anak kelas XII IPS 3 yang malang. Sarah dan Ana malah berwajah kusut. Begitu juga dengan Riski. Parahnya berada dalam kelas yang penuh dengan anak-anak yang bandel. Maka berpeluh-peluhlah mereka dengan mandi keringat dan bau yang beraneka ragam. Selamat menjalani hukuman buat anak-anak kelas XII IPS 3, begitulah seruan dari Ibu Eni yang tersenyum terkekeh-kekeh.